Pesan Moral Dongeng Anak, Untuk Siapa?

Kecenderungan utama setiap pembaca atau penikmat cerita adalah berusaha menemukan pesan moral pada kisah yang telah dia nikmati. Hanya saja, kadang usaha itu menjadi sia-sia karena bagi sebagian pencipta cerita, tujuan utama berkarya adalah bercerita, bukan untuk menyampaikan pesan moral. Kecewa? 

pesan moral dongeng anak untuk siapa
Peserta Dongeng untuk Anak di LG Corner Ruteng | Dok. ranalino.co

Pesan Moral Dongeng Anak, Untuk Siapa?

Tulisan ini adalah lanjutan dari catatan yang saya post pada tanggal 17 Oktober 2016 silam. Pada catatan tersebut, saya menggambarkan tentang betapa jauhnya sikap pencerita dari harapannya sendiri. Maksudnya? Aeh, agak panjang kalau harus dijelaskan di sini. Mampirlah ke: Pesan Moral Dongeng Anak, Apakah Ada? 
Tetapi agar postingan ini tetap dapat dibaca sebagai bagian yang utuh–dapat dinikmati meski tidak sempat membaca bagian pertama–, saya ceritakan secara singkat apa yang terjadi di sana. 
Pertanyaan utama catatan tersebut adalah mengapa kadang para pencerita berhasil menciptakan pendengar yang mampu mengambil pesan moral dari dongeng yang mereka tuturkan, tetapi si pencerita sendiri malah gagal bersikap ideal. Cie ciee… macam penting skali itu catatan im. Kalau penasaran, silaken mampir. Kalau tidak, silaken lanjutken membaca daripada cataten ini #eh?
Usai mendongengkan Gadis Korek Api pada pendengar kami di LG Corner Ruteng, saya dan sang pendongeng Erick Ujack Demang, dalam refleksi kecil menyimpulkan bahwa banyak pencerita abai menjalankan sikap yang telah mereka idealkan dalam cerita/dongeng yang mereka sampaikan. 
Para pendongeng hanya berhasil menciptakan pendengar yang mengerti (mampu mengambil pesan moral dongeng), tetapi dirinya sendiri bersikap jauh di seberang. Seolah-olah, berbuat kebaikan adalah hanya dengan menyampaikan cerita kepada orang lain. 
Adoooh… macam rumit skali kami punya kesimpulan e aeh
Begitulah. Setelah sampai di kesimpulan kecil seperti itu, saya dan Ujack pulang. Kegiatan “Sore Cerita – Dongeng untuk Anak” yang kami selenggarakan di bawah bendera Komunitas Saeh Go Lino, Ruteng, hari itu sudah selesai. Waktunya kembali ke rumah: orang-orang tercinta.

(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Ujack akan mampir sejenak di rumah saya untuk melihat Anak-anak Seraninya, Rana dan Lino. Kopi yang kami minum di LG Corner sudah dibayar Om Kosmas Karjiin, tukang perbaik mobil yang juga mengabdikan dirinya sebagai pendamping komunitas anak PPA Lumen Gratiae Katedral Ruteng yang menjadi pendengar kami. 

Rana selalu menikmati kunjungan Ujack The God Father, karena pendongeng kami ini selalu tahu cara bermain dan menciptakan kegembiraan. ujack lalu meneruskan perjalanan pulang ke rumahnya dan saya menjalankan tugas menyenangkan: mendongeng untuk Rana. 
Saya ceritakan Gadis Korek Api karangan Hans Christian Andersen, tentang seorang gadis kecil yang meninggal dunia kedinginan, karena korek apinya yang tidak laku dijual di malam Natal dan dia tak berani pulang ke rumah tanpa membawa uang. Rana tampak murung ketika dongeng klasik itu selesai saya tuturkan.

Dia tidak terlampau paham konsep surga. Ceritanya, sebagai usaha melembutkan leraian saya kisahkan bahwa Tuhan akhirnya datang memeluk jiwa gadis itu pada detik dia meninggal dan membawanya ke surga tinggi. Rana mengerutkan kening. 

Baca juga: Kita adalah Komentator Sepak Bola (Bagian Pertama)

Barangkali yang Rana inginkan dari kisah The Little Match Girl itu adalah bahwa korek api yang dijual gadis kecil itu laku. Karena korek apinya terjual, gadis itu pulang ke rumah, merayakan Natal bersama keluarga dengan sederhana. Penjual korek api itu tidak jadi mati sehingga Rana tidak harus sibuk memikirkan konsep jiwa dan badan.

Tetapi kita semua tahu bagaimana H.C. Andersen bercerita. Sedih; gadis kecil mati kedinginan di malam Natal karena tak seorang pun mau membeli korek api yang dijualnya. Rana menjadi sedih. Butuh waktu lama meyakinkannya bahwa gadis penjual korek api itu lebih bahagia di surga. 

“Di surga, kita tetap ada badan seperti ini, Bapa?” Rana bertanya dengan suara yang terdengar suram.
“Tidak, Nak. Ada badan yang baru dan jiwa yang bahagia. Hanya Bunda Maria yang utuh diangkat badannya ke Surga.”
Wajah Rana sendu. Lalu dia berdoa: “Tuhan, kalau kami meninggal dan masuk surga, kami mau badan seperti ini dan bahagia.” 
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Maka apakah ada pesan moral pada dongeng untuk anak? Kalau ada, saya kira kebebasan pendengar berpikir harus tetap menjadi yang utama. Saya kadang gemas setiap usai membaca dongeng, kita turut juga membaca pesan moral yang dicetak bold-underline-italic dalam buku-buku dongeng yang mahal dan mewah itu. Seolah pesan moral adalah sila-sila Pancasila yang tidak boleh ditafsir dengan bebas merdeka; bahwa Ketuhanan yang Maha Esa artinya cara beribadah harus sama. 

Di situ kadang saya merasa sedih, tetapi juga kerap melakukannya; menjelaskan pesan moral pada dongeng yang sudah kami tuturkan. D*mn! Untuk siapa sebenarnya pesan moral ditujukan?
Kalau tugas pencerita adalah membuat penikmat cerita mampu mengambil pesan moral dari sebuah kisah, saya pikir langkah paling pertama adalah sang pencerita melaksanakan pesan moral itu terlebih dahulu.

Sebagai contoh: Kalau kau adalah pendongeng, bercerita tentang kisah indah yang kau sebut sebagai wujud sikap menghargai sesama manusia, tetapi pada saat yang sama kau melakukan kekerasan pada orang lain hanya karena keyakinan atau jenis kelaminnya berbeda, bukankah tidak berlebihan jika saya bertanya: “Bapak sehat?”

Baiklah. Catatan ini saya buat sekenanya saja. Dari dongeng, ke anak, ke H.C. Andersen, ke LG Corner, ke surga, ke kotbah, dan lain sebagainya. Apakah ada pesan moral dalam catatan ini? Jangan terlalu berusaha keras mencarinya. Nikmati saja. Sepakat?

Salam
Armin Bell
Ruteng, Flores
Bagikan ke:

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *