bertemu orang orang muda hebat di kupang pada festival sastra santarang

Orang-Orang Muda Hebat di Kupang

Di Kupang, pada gelaran Festival Sastra Santarang, saya bertemu orang-orang muda yang hebat!


Saya pulang ke tempat lahir beta. Kupang. Ini kunjungan pertama setelah saya meninggalkan kota itu berpuluh-puluh tahun silam. Di kota yang di dalamnya ada Oepura tempat saya lahir ini, saya bertemu orang-orang muda hebat.

Tentu saja sebagai orang yang numpang lahir dan tinggal selama dua tahun, saya tidak sangat akrab dengan Kupang. Tetapi bagaimana pun, di kota ini saya lahir. Naik turunnya citra kota ini tetap mendapat tempat dalam momen permenungan saya (cie cieee…). Tetapi kali ini saya tidak sedang ingin termenung. Saya mau cerita.

Ini adalah catatan perjalanan tentang Festival Sastra Santarang, sebuah festival yang diselenggarakan oleh orang-orang muda hebat di Kupang dari Dusun Flobamora. Saya menulisnya sambil mengenang angin yang bertiup ramah di bumi sabana dan lontar dan karang. Pohon Sepe belum berbunga. Ini masih bulan Juni dan flamboyan adalah bunga Desember. Ada waktu yang menentukan cara alam berbahasa. Seperti ada umur yang menentukan cara orang berharap pada yang lain.

Pada umur berapakah seharusnya orang-orang mulai menjadi hebat? Wolfgang Amadeus Mozart (1756 – 1791), komponis musik klasik Eropa paling penting dalam sejarah, telah memulainya pada usia lima tahun. Masih muda tetapi telah menjadi ‘penemu’.

Hanya saja, Mozart adalah golongan sangat kecil dari manusia semesta. Pada golongan besar, manusia mungkin baru dapat menjadi hebat atau diakui kehebatannya, memakai standar berpikir umum, ketika sampai di awal 40 tahun usianya. Life begins at 40, kata orang-orang. Lihat saja rata-rata Presiden usianya di atas 40. Ada yang bahkan ngotot jadi presiden di usia di atas 70, meski mentok-mentoknya jadi wakil #eh?

Tentang apakah tesis tersebut sungguh-sungguh benar, debat panjang dapat digelar di berbagai belahan dunia. Tetapi dalam pandangan sangat pribadi, saya sesungguhnya merasa orang hebat dapat saja dijumpai di semua usia. Bahwa baru-baru ini, di Kupang saya bertemu dengan orang-orang hebat yang masih muda usia adalah salah satu di antaranya.

Ya, orang-orang muda hebat itu ada di Kupang saat saya menjadi salah seorang peserta Festival Sastra Santarang. Mereka masih muda tetapi dengan sangat baik menjadi penyelenggara kegiatan itu.

Baca juga: Kampanye Tim Putih Nyaris Tak Terdengar

Saya mengulang-ulang kata ‘muda’, sama sekali bukan untuk menjelaskan bahwa saya sudah tua. TIDAK! Saya masih muda juga, tetapi yang saya temui di Kupang itu muda-muda semua. Astaga! Ada AN Wibisana, Romo Amanche Franck, Dicky Senda, Mario F. Lawi, Ega Damian, Linda Tagie, Abdul, Axel, Disa, Eric Lofa, dan lain-lain. Di usia Ega–baru tamat dari SMAK Giovanni–saya masih sibuk mengurus patah hati dengan wajah pucat pasi daripada bergabung di organisasi.

Ada banyak nama lain yang selama beberapa hari bersama kami di sana dan saya menghormati mereka pada posisi yang sama dengan yang saya tulis namanya di sini; mereka masih muda.

Benar sudah bahwa kita hidup di dunia jaringan. Kawan-kawan Dusun Flobamora yang menjadi penyelenggara kegiatan ini berhasil berjejaring dengan komunitas mapan seperti Salihara yang menggandeng Hivos dan melaksanakan Festival Sastra Santarang, 2 – 4 Juni 2015 di Kupang. Masih dalam peta dunia jaringan, saya diajak bergabung. Sebuah kebetulan yang menyenangkan, tentu saja, karena salah satu agenda pada festival ini adalah tentang komunitas. Saya bersama kawan-kawan di Ruteng juga senang berkomunitas. Saya beruntung bahwa selama ini lumayan cerewet mempromosikan LG Corner Ruteng via media sosial sehingga saya yang lalu dipilih mewakili rumah bersama milik Katedral Ruteng ini.

Berangkatlah saya ke Kupang menggunakan penerbangan pertama dan satu-satunya dari Ruteng ke Kupang pada tanggal 1 Juni 2015, tepat pada peringatan Ulang Tahun Pancasila. Dari langit saya melihat hamparan padi di daratan Flores ketika pesawat kami sedang menembus awan yang tampak seperti lautan kapas putih yang lembut. Saya ingat sila kelima lalu berkhayal tentang kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Ah, melankolia.

Ada Doni di Bandara El Tari. Telah menunggu cukup lama.

“Saya dari Manggarai, Kae,” katanya.

Saya senang sekali. Kupang adalah tanah kelahiran saya tetapi saya tak cukup mengenal tempat ini. Hanya dua tahun saya tinggal di sini sebelum pulang ke tanah seribu gereja, Manggarai. Maka bertemu orang Manggarai yang akan menjadi pemandu adalah sebuah kesenangan. Dia masih muda.

Lalu bertemu saya dengan Romo Amanche. Masih muda. Dan yang lainnya. Semua masih muda. Saya mendadak ingat tebaran uban di kepala saya dan lalu merasa begitu tua. Tetapi usia sebenarnya bukan soal. Manusia toh tidak lagi hidup pada standar umur tetapi karya. Dan tentang ini, karya orang-orang muda hebat yang saya temui di Dusun Flobamora harus dapat acungan jempol yang banyak.

Menjadi penyelenggara sebuah festival bukan perkara mudah saya pikir. Saya tidak pernah melakukannya dan hanya menjadi partisipan di beberapa festival; melihat bagaimana mereka bekerja membuat saya berpikir bahwa mereka yang di Kupang ini telah masing-masing melampaui usia. Melakukan koordinasi dengan lembaga donor, berkomunikasi dengan calon peserta, bekerjasama dengan lembaga lain, menyiapkan kendaraan antar jemput untuk peserta, mengatur penginapan dan waktu antar jemput, mengurus konsumsi, menyebarkan flier publikasi, menata ruangan, mendesain poster, memastikan semua peserta kenyang dan puas, berdebat, menyiapkan kartu peserta, menghubungi gedung, menyiapkan selendang, menjadi pembicara, menjadi peserta, dan melakukan banyak hal lain. Bayangkan itu.

Hasilnya? Semua peserta pulang dengn puas sembari dalam hati kecil berharap: Andai tak bisa menyelenggarakan kegiatan serupa, semoga telah meninggalkan kesan yang baik sehingga suatu saat dapat diundang lagi. Begitu kira-kira; saya terutama, yang datang dijemput pulang diantar–terima kasih Doni.

Baca juga: Jurnalistik Dasar: Berita (2)

Masih dalam memoria Pancasila, saya ingat Bung Karno tentang orang muda. Katanya: “Beri aku sepuluh pemuda, aku akan mengguncang dunia!” Misalkan dia masih hidup, saya akan menyampaikan usulan bahwa dia bisa saja memilih beberapa di Dusun Flobamora.Dia bisa memilihnya saat mereka membaca karya di Taman Dedari ketika Ishack Sonlay mementaskan musikalisasi puisi “Cepat Pulang, Unu”, sembari bertanya-tanya tentang mereka pada dr. Sahadewa, SpOG, pemilik taman budaya yang manis itu.

Tentang saya pada festival ini adalah bagian yang sangat kecil. Maka saya ceritakan saja dalam dua paragraf terakhir. Saya beruntung menjadi salah seorang pembicara tentang komunitas. Bersama saya dari ada Unu Ruben dari LOPO Biinmafo, pegiat Soe Peduli, serta Ayu Utami dari Komunitas Salihara. Ayu Utami, Om. Iya, Ayu Utami yang itu, yang menulis Saman dan membuat begitu banyak lelaki jatuh cinta pada Yasmin dan surat-suratnya kepada mantan pastor itu. Betul, Ayu Utami yang itu sudah, yang menggambarkan Marja dan membiarkan kami berkhayal tentangnya dalam Bilangan Fu. Kami satu meja dan saya menikmatinya dengan gugup. Selama festival saya juga berteman dengan Erik Prasetya yang menjadi Enrico dalam Cerita Cinta Enrico.

Saya tidak tahu berterima kasih kalau bilang semua pengalaman itu biasa-biasa saja. Saya dapat buku bertandatangan mereka berdua, Ayu dan Erik: Spiritualisme Kritis. Ini bukan festival yang biasa-biasa saja. Ini luar biasa jika digabungkan dengan bahasan di paragraf awal tentang bahwa kegiatan ini ‘diurus’ orang-orang muda.

Selebihnya saya menjadi pendengar setia dan menikmati saat-saat diskusi intens dengan AS Laksana, penulis yang saya kagumi betul sebuah cerpennya berjudul “Menggambar Ayah” dan Hasif Amini, orang penting di balik meja redaksi sastra (puisi) di Kompas Minggu yang oleh Fr. Saddam HP dianggap paling bertanggung jawab atas dikirimpulangnya sejumlah puisi kita. Mereka baik sekali. Sebaik moderator kami senja itu, AN Wibisana a.k.a Mas Abu, orang Kupang dari Jawa. Mau saja mereka berbagi dengan orang-orang seperti kami, maka ini bukan festival yang biasa-biasa. Ini luar biasa karena saya juga bertemu dengan beberapa kawan yang beberapa hari sebelumnya sama-sama menjadi peserta di Workshop Cerpen Kompas: Maria Pankratia, Fr. Saddam HP dan Fr. Michael Roger.

Dua paragraf tentang saya selesai sudah. Mari kita kembali ke paragraf awal tentang di usia berapa orang akan menjadi hebat? Mozart adalah contoh yang langka, maka jawabannya bisa jadi adalah: usia sekarang saja. Ya, sekarang. Maksudnya ketika anda membaca ini. Berhenti siburibuk dengan hal-hal yang tidak sangat penting. Melalui Ambara Saraswati Mardani di Taman Dedari, Joan Baez bilang begini: Stop complaining”, said the farmer/ Who told you a calf to be?/ Why don’t you have wings to fly with/ Like the swallow so proud and free…//

Daripada berpikir orang-orang tak punya kepedulian cukup terhadap apa yang menjadi kepedulian personal kita, lakukan sesuatu seperti yang telah ditunjukkan kawan-kawan saya di Dusun Flobamora. Salute!

13 Juni 2015

Salam dari Pertokoan, Ruteng

Armin Bell

Foto: Salah satu kegiatan di Festival Sastra Santarang 2015.

6 Comments

  1. Keren!!!!! Nana masih sangat muda…. sekali lagi….. 'SANGAT'..!!!!! walau warna helai itu bilang tidakkk….!!!!