komentator sepak bola bagian pertama catatan sepak bola armin bell

Kita adalah Komentator Sepak Bola (Bagian Pertama)

Di dunia ini, ada banyak ‘hal-hal sejuta umat’. Salah satu varian handphone Nokia pernah mendapat julukan itu. HP sejuta umat. Ada juga Dai Sejuta Umat. Juga komentator sepak bola.


Semua pasti sepakat bahwa sepak bola adalah olahraga sejuta umat. Di Ruteng Manggarai, hampir setiap perhelatan sepak bola besar seperti Piala Dunia, Piala Eropa, Piala Asia, dan Piala AFF (yang dulu namanya Piala Tiger) menyerap banyak perhatian. Perhelatan akbar tersebut juga memiringkan banyak antena parabola. Kalau mau tahu hubungan antara antena parabola dan piala dunia, datanglah ke Ruteng.

Karena sejuta umat itulah, mau tidak mau saya ikut juga bicara tentang sepak bola. Kebetulan Piala Eropa baru saja berlalu. Portugal jadi juara di 2016 ini. Nama Ronaldo melayang-layang di udara. Nama Messi juga. Padahal Messi sama sekali tidak berlaga di Eropa. Kalau dia ngotot bermain, itu namanya Messi lupa diri. Dia orang Amerika Latin to? Untuk apa repot-repot bermain di Eropa? Halaaah …

Tetapi sebenarnya saya tidak terlalu ikuti juga perhelatan olahraga sejagat itu. Selama Piala Eropa tahun 2016 bergulir, saya hanya membuat dua status facebook. Sebelumnya, di Copa America 2016, saya bahkan tidak menulis apa-apa. Ketika Copa America berlangsung, saya terbaring di BLUD dr. Ben Mboi Ruteng. Saat Euro memasuki babak-babak genting, saya sedang dalam masa pemulihan. Demikianlah alasan saya tidak banyak bicara; tak banyak nonton live, memilih diam.

Tetapi kita barangkali lahir untuk menjadi komentator sepak bola. Meski tidak nonton siaran langsungnya, toh kita bisa lihat di media sosial. Gampang to? Jari manusia di zaman media sosial seperti ini memang tak pernah berhenti bekerja. Kabar-kabar seputar dua perhelatan akbar itu saya ketahui juga, lengkap dengan risakan (bullying) pada Messi yang gagal penalti di partai final Copa America. Para aktivis media sosial juga tak berhenti merisak Ronaldo yang bersama Portugal terseok-seok di babak-babak awal Euro 2016.

Jadi kalau ada yang bertanya apa yang kerjanya dapat lebih cepat dari otak, jawaban pertama di zaman ini bisa jadi adalah, “Jari manusia saat menjadi komentator sepak bola.” Hanya saja, saya menolak untuk ikut dalam permainan jari itu, memilih diam dan tak berkomentar.

Sesungguhnya, saya nonton semua pertandingan Euro 2016. Di televisi kami pada saluran 101, semua pertandingan disiarkan ulang sehingga tanpa harus mete di jam tiga dinihari, saya tetap tahu perkembangan permainan seluruh tim. Tetapi saya berjanji pada diri sendiri, hanya berkomentar pada pertandingan yang saya saksikan live di televisi. Tahu dan berkomentar; terasa lebih afdol. Demikianlah ikhwal lahirnya hanya dua tulisan/status sepanjang perhelatan di Prancis tersebut.

Satu-satunya pertandingan yang saya saksikan live di Euro kali ini adalah babak final: Prancis versus Portugal. Tanpa tendensi. Nonton saja. Dua-duanya bukan tim favorit saya. Tetapi ketika Portugal menang, saya merasa senang. Lalu menulis status ini: Congratulation Portugal. Happy for Ronaldo.

Baca juga: Menanam Bambu di Ruteng Flores (Bagian 1)

Lalu kita melihat beberapa teman menjadi salah fokus. Sepanjang partai final itu, ketika Prancis dan Portugal sedang berlaga, Messi malah kena bully. Jari para komentator sepak bola memang bekerja terlampau cepat. Ckckck…

Saya merasa kita telah berlaku tidak adil–untuk tidak menyebut brutal dan kejam. Saya benar-benar tidak suka. Maka saya menulis panjang di dinding facebook saya. Di sana saya kasi judul “Inggris, Ronaldo, Argentina”. Tetapi pada postingan ini saya ganti judulnya, dan menambah beberapa bagian.

Inti tulisan tersebut adalah tentang betapa kita adalah sekumpulan komentator sepak bola yang tidak tahu lokasi. Eropa dan Amerika adalah dua benua yang berbeda. Kalau ada Piala Eropa, maka pemain yang berasal dari Amerika tidak boleh main. Messi adalah pemain asal Argentina. Argentina itu ada di Amerika Latin. Amerika Latin di sudah pasti di benua Amerika. Paham? Bagian mana dari fakta ini yang tidak dipahami sehingga para komentator sepak bola malah membawa-bawa nama Messi sepanjang perhelatan Piala Eropa 2016 itu?

Baiklah. Ronaldo dan Messi adalah seteru abadi abad ini. Mereka memiliki kemampuan di atas rata-rata. Ada di level itu membuat keduanya kerap dibanding-bandingkan. Dalam situasi bahwa seseorang meraih prestasi dan seorang lainnya gagal, maka penggemar dari masing-masing pemain akan dengan senang hati menggabungkan mereka dalam satu kicauan; memuji seorang dan menghina yang lain.

Yang mengagumkan adalah kemampuan kita merisak berdasarkan data yang dipaksakan. Seolah-olah kalau Ronaldo menang di Piala Eropa makan Messi adalah manusia paling menyedihkan di jagat ini karena kalah di Copa Amerika. Astaga. Para komentator sehat?

Mau tidak mau, ketika Portugal akhirnya keluar sebagai pemenang di final Piala Eropa, saya tergerak untuk prihatin kepada Messi. Alasannya jelas, karena penggemar Ronaldo serentak menyebar meme yang memperlihatkan Messi sedang menangis. Kok bisa? Harusnya kan kalau ada meme, maka isi meme itu adalah pemain Prancis yang bersedih. Karena yang kalah di final itu Prancis. Bukan Argentina.

Tetapi kita adalah komentator sepak bola yang hebat, yang merasa bahwa prestasi Ronaldo di Piala Eropa harus disejajarkan dengan kiprah Messi di timnas Argentina. Kita kadang sehebat itu. Atau semenyedihkan itu?

Baca juga: Menjadi Batu Akik

Saya sesungguhnya tidak harus berkomentar tentang ini. Hanya saja, saya selalu berpendapat bahwa kita harus adil sejak dalam pikiran, hingga pada perbuatan (ini sebenarnya meminjam Pramoedya Ananta Toer). Maksud saya, bukankah lebih baik kita rayakan saja kemenangan Ronaldo dan melupakan Messi?

Tentu saja ada yang akan protes dengan tulisan ini. Sa cuwek saja. Toh kita semua adalah komentator sepak bola, karena komentator sepak bola itu sejuta umat. What? (Bersambung ke bagian kedua)

Salam dari Pertokoan, Ruteng

Armin Bell

Gambar dari Yoursay.id.