Menolonglah Seperti Ibu Piara

Salah satu tentang ibu yang saya suka adalah Bunda Piara. Liriknya: “…bila kuingat lelah ayah bunda, bunda piara-piara akan daku, sehingga aku besarlah…”. Lagu yang bagus, ringan, dan bercerita tentang ibu piara. Cinta orang tua tidak akan pernah selesai.

menolonglah seperti ibu piara
Menjadi Ibu | Foto: Armin Bell

Menolonglah Seperti Ibu Piara

Kita tentu saja senang menolong. Itu baik. Tetapi kapan terakhir kita menolong dengan tulus? Menolong dengan tulus adalah kegiatan yang langsung selesai. Setelah kau melakukannya, kau bahagia. Tidak mengharapkan apa-apa lagi. Tidak menganggap itu sebagai investasi kebaikan. Tujuan menolong adalah menolong, titik! Ya, itu tadi. Seperti ibu piara. Saya pernah menulis, kisah tentang Mama, mampirlah sesekali.

Di sini: Menulis Kisah tentang Mama

Lalu ada kisah lain. 
“Apa-apaan ini? Kemarin saya sudah bantu, terus sekarang malah balik kritik saya. Tahu begini kan, saya tidak perlu tolong kamu kemarin!” Begitu kira-kira teks sederhana yang saya baca dari obrolan beberapa kawan orang Manggarai di halaman kantor bupati Manggarai saat beberapa waktu lalu kami melakukan aksi demonstrasi tolak tambang. 
Naskah aslinya tentu tidak demikian karena yang terdengar adalah gerutuan beberapa orang tentang sikap Gereja lokal Manggarai yang meminta Pemerintah Kabupaten Manggarai segera melakukan kajian dan jika boleh mencabut izin usaha pertambangan dari Bumi Nuca Lale. Ya, gerutuan dengan nada seperti teks pada kalimat pertama terdengar dalam banyak versi kalimat. 
Poinnya saya duga kira-kira tentang: pemerintah sudah membantu Gereja lokal dalam berbagai hal dan kesempatan dan (seharusnya) sebagai balasan atas budi baik itu, Gereja menutup mata saja terhadap hal-hal yang (mungkin) keliru yang dilakukan pemerintah. 
Baca juga: Dakota Fanning dan Rueng Melawan Negara

Saya kok tidak setuju ya? Bukan semata karena saya ikut dalam deretan demonstran tolak tambang di Ruteng itu, juga bukan karena kesadaran akan fungsi profetis Gereja yang harus bicara tentang yang benar dan mengkritisi hal yang berada di luar rel–tidak peduli apakah pelakunya pernah menolong Gereja atau tidak, tetapi terutama karena kesadaran saya tentang menolong itu bukan “kita melakukannya agar kita dipuji-puja”. 

Saya ingat kisah tentang mama dalam lagu masa kecil yang lain. Kasih ibu kepada beta … hanya memberi tak harap kembali…! Seperti ibu piara (memelihara) kita, begitu kira-kira ideal menolong.

Mengapa mengharapkan kembali jika sejak semula niatmu adalah menolong? Kalau kau mengharapkan kembali, buatlah dalam bentuk lain seperti meminjamkan atau menjual/memperdagangkan, biar sekalian dapat untung. 

Kalimat saya kasar? Mungkin. Tetapi saya memang sedang sakit hati tentang betapa tak lagi banyak jumlah orang-orang tulus di halaman kantor bupati kami siang itu.

(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Setelah membaca tulisan seadanya ini, tentu saja kita boleh melihat bagaimana kita menolong orang lain selama ini. Termasuk dengan bertanya untuk apa kita menolong orang lain kalau tidak berharap balas jasa? Saya tentu tidak bisa memberikan jawaban pasti.

Hanya ada kemungkinan. Mungkin agar semakin banyak orang bernasib lebih baik karena dengan dengan demikian mereka akan punya kemampuan menolong diri sendiri dan orang lain dengan lebih baik. 

Ini hanya sharing, bahwa sebenarnya ideal menolong itu seperti ibu piara kita. Suatu saat jika kau ingin menolong orang lain, tolonglah. Tetapi tolong, jangan berharap bahwa pada hari selanjutnya dia memuji kita dan mengabaikan kesalahan kita. Menolong seharusnya memberi kebebasan, kemerdekaan; ya yang menolong, ya yang ditolong. 
Demikianlah saya begitu sedih pada kesempatan demonstrasi di Ruteng itu. Jika benar bahwa ada yang berpikir: karena pemerintah telah banyak menolong Gereja dan karenanya Gereja sebaiknya mengabaikan sikap kritis profetisnya ketika berurusan dengan pemerintah, saya kecewa dan sakit hati.

Baca juga: Rana Cinta Indonesia, Sebuah Cerita tentang Bangsa

Saya tahu, pemerintah kami itu baik. Dan agar mereka tetap baik adanya, suara-suara kritis dari pihak lain sudah seharusnya diterima dengan baik pula. Dengan demikian dia akan lebih baik di hari-hari mendatang. 

Sesungguhnya, saya sendiri tidak yakin bahwa suara-suara yang saya dengar tentang pemerintah tidak mau dikritik karena telah menolong itu adalah benar suara pemerintah. Saya menduga, itu adalah suara-suara yang muncul dari orang-orang yang terlampau mencintai pemerintahnya dan berharap ditolong.Yang terlampau, biasanya sering salah. 
Saya suka kisah orang Samaria dalam Kitab Suci. Dia turun dari kudanya dan menolong orang tak dikenal yang terluka di pinggir jalan. Karena tak sempat merawat (karena dia sedang dalam sebuah perjalanan), dimintanya orang lain merawat si terluka.

Dititipkannya sejumlah uang untuk biaya perawatan. “Jika tak cukup, akan saya tambah dalam perjalanan pulang,” katanya. Betapa baik menolong serupa itu, seperti Ibu piara: Hanya memberi tak harap kembali. 

O iya, saya percaya ketika orang-orang cerdik pandai telah banyak ada, bumi ini membutuhkan lebih banyak orang baik. Akhir-akhir ini saya agak cerewet. Ingatkan saya kalau suatu saat saya mendadak diam karena telah kenyang. 
Salam
Armin Bell
Ruteng, Flores
16 Oktober 2014
Bagikan ke:

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *