Surat dari Sahabat

Surat dari Sahabat pada awalnya tidak diniatkan untuk menjadi cerita yang panjang. Saya hanya ingin membagi (sebut saja) refleksi atas cara kita memandang ‘orang lain’. Ketika menulisnya, saya sedang mengawas ujian di tempat saya mengajar. 

surat dari sahabat
Kota | Foto: Armin Bell

Surat dari Sahabat 


Oleh: Armin Bell

Kepada
Joanette,
Kau tahu kan? Aku telah puas ditertawai berkali-kali. Kali pertama saat berjalan, kali berikutnya ketika bicara. Hei, lihat dia. Kok ada ya yang begitu, kata mereka dahulu dan setelahnya terpingkal-pingkal. Beberapa bahkan sampai berair mata, beberapa menopang badan dengan satu tangan pada tembok, tangan yang lain memegang perut. 
Temannya yang lain menubrukkan diri yang tak kuat disangga berdiri karena tertawa hingga tak bertenaga, dirinya ditubrukkan pada temannya yang lain yang juga sedang tertawa. Mereka lalu tertawa lagi untuk peristiwa itu, berhenti sejenak lalu memandangku lalu tertawa lagi. 
Kau tahu kan? Setiap hari selalu begitu lalu aku menjadi telah terbiasa. Kau tahu juga bagaimana setelahnya aku menjadi terbiasa ditertawakan. Maka aku menjadi terheran-heran sepenuh hati ketika ini kali tak ada lagi yang tertawa. Saat aku masuk ke ruangan itu, hening. 
Kita pernah bicara tentang dahulu. Saat itu kita ada di bawah pengaruh alkohol murah dari seduhan aren bercampur damar. 
Kau pernah bilang: “Bukankah aneh bahwa ada saat-saat dalam hidup ketika kita lebih merindukan reaksi yang biasa meski itu ditujukan untuk menghina kita, daripada mendapatkan reaksi tak biasa meski itu diniatkan sebagai tawaran kebaikan.” 
Aku sedang di ambang sadar dan mabuk, tertawa kecil–reaksi yang selalu tepat ketika kita tidak tahu apa sebenarnya yang sedang kita hadapi–lalu bilang, “Iya, ya?” Kemudian aku tertawa kecil lagi, lalu menuangkan lagi seduhan aren bercampur damar yang kita dapatkan dari petani tuak di kampung. Anak petani itu menikah dan kita hadir di sana sebagai panitia dekorasi. 
Baca juga: Dua Senja

Maka kau pasti mengerti kalau aku ingin ditertawai seperti biasa hari itu. Tentu saja mereka tidak harus terpingkal-pingkal berair mata. Juga tak kuberharap mereka memukul-mukul meja. Ruangan ini terlampau beradab untuk reaksi seperti di taman kota tempat orang boleh melompat-lompat dan berteriak-teriak ketika tertawa–aku masih heran mengapa ada orang sedemikian lucunya kalau tertawa?

Aku hanya ingin ditertawai untuk alasan yang sama seperti telah kutulis di awal surat ini. Tetapi benar. Seperti kemarin di tempat lain, aku inginkan olok-olokkan agar dunia tampak biasa. Kita pernah sepakat tentang itu, kau ingat? Bahwa olok-olokkan bahkan yang paling menyakitkan, setelah sangat sering diterima akan menjadi biasa dan lalu menjadi dirindukan. 
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Dan kau tahu? Hari itu semua menjadi tidak biasa ketika mereka serempak berdiri saat aku masuk ke ruangan itu. Selamat siang, Bu, kata mereka setelah beberapa detik sebelumnya berdiri dengan manis. Setelah kubalas sapaan itu setelah sebelumnya sempat sejenak tercekat karena tidak tahu harus bereaksi apa, setelah itu semua, dengan kemanisan yang sama mereka duduk dan mendengarkanku bicara. 

Ini tidak biasa. Seharusnya mereka hanya boleh bilang: SELAMAT PAGIIII, dengan senyum terkulum atau tertawa tertahan. Mengapa mereka menambahkan BU? 
Kau pasti bisa menebak alasanku menulis ini. Ada detik saat aku merasa menikmati saat-saat menjadi perempuan–sehingga mereka boleh menyapaku ‘Bu’–tetapi sesungguhnya aku tetap tak sepenuhnya tahu siapa kita. 

Pakaian ini, lipstik ini, payudara yang kau pesankan untukku setelah aku mengagumi fotomu dengan payudara baru yang menantang seolah melawan gravitasi itu, sepatu berhak tinggi ini, apakah sesungguhnya telah disiapkan agar aku layak disapa Ibu?

Mereka seharusnya tertawa saja agar dunia tetap terasa biasa dan aku boleh mulai menjelaskan cara memakai kondom kepada mereka.
Kau pasti setuju betapa nikmatnya menjadi atau dilihat atau dikomentari dan hidup sebagai banci saja seperti biasa daripada dipanggil Ibu seperti yang mereka lakukan padaku hari itu. Aku ingat bagaimana dengan bangga kau pernah memperkenalkan diri pada sekerumunan orang yang mengagumi kecantikanmu di suatu senja di bawah pohon beringin yang sedikit menyibakkan diri untuk cahaya matahari senja setelah hujan menerpa wajah.

Baca juga: FF100K Karina – Kejutan

“Akika banci ye,” katamu menyibak rambut dan berlalu. Mereka tertawa di belakang kita dan kita tertawa berdua untuk kebodohan mereka.

Kita akan selalu begitu kan? Menjadi banci, ditertawakan dan berlalu. Mengapa harus menjadi bapak atau ibu? Aku ingin selalu tertawa bersamamu Joanette. Tertawa terbahak-bahak sampai tak sanggup tubuh ini menyangga berat dan aku berpegangan pada payudara silikonmu, tanganku yang lain memegang perut. Menertawai mereka yang terpingkal-pingkal tertawa melihat kita. Menertawai kebodohan mereka. Tetapi tidak setelah hari itu mereka memanggilku ibu. Kita siapa? 
Sahabatmu
Alina

2 Comments